Jakarta -
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memastikan galon guna ulang masih aman digunakan untuk air minum dalam kemasan (AMDK). Masyarakat juga perlu diedukasi untuk memperlakukan semua jenis galon, baik yang guna ulang maupun sekali pakai dengan baik.
"Galon guna ulang masih aman digunakan," ujar Direktur Standardisasi Pangan Olahan Badan POM Dwiana Andayani dalam keterangannya, Kamis (18/7/2024).
Oleh karena itu, pihaknya meminta industri untuk memperlakukan semua jenis kemasan galon itu dengan baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak membanting atau menyikat dengan keras. AMDK dalam galon juga harus disimpan di tempat yang tidak kena panas matahari langsung," katanya.
Menurutnya, Badan POM juga secara rutin akan melakukan pemantauan terhadap semua AMDK yang beredar.
"Jika ada yang tidak memenuhi syarat, akan dilakukan tindak lanjut , baik terhadap produk maupun produsennya," ucapnya.
Sementara itu Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Ahmad Sulaeman peraturan BPOM sudah jelas menyebutkan semua kemasan plastik mengandung zat-zat kimia berbahaya.
Dalam pedoman implementasi Peraturan BPOM No.20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, disebutkan baik AMDK plastik berbahan Polietilen Tereftalat (PET) dan Polikarbonat (PC) sama-sama mengandung zat berbahaya. Oleh karena itu, BPOM mengatur batas migrasi zat-zat berbahaya di dalam kedua kemasan tersebut agar bisa digunakan sebagai kemasan pangan yang food grade.
"Dalam pelaksanaannya di lapangan, perlakukannya juga harus sama, tidak boleh ada perlakukan khusus hanya kepada satu kemasan plastik tertentu saja. Karena keduanya sama-sama mengandung zat-zat berbahaya. Apalagi peraturan itu kan BPOM juga yang membuatnya," paparnya.
Adapun zat-zat kimia berbahaya yang ada di dalam kemasan PET terdiri dari Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG), dan Asetaldehid. Sedang kemasan PC mengandung zat kimia yang dinamakan Bisfenol A (BPA).
Dalam Peraturan BPOM, batas maksimum migrasi masing-masing zat kimia tersebut sudah ditetapkan, yaitu EG dan DEG 30 bpj, Asetaldehid 6 bpj, dan PC 0,6 bpj.
"Jadi, batasan migrasi zat-zat kimia berbahaya dari kedua jenis kemasan plastik itu sebenarnya kan sudah diatur secara komprehensif dalam Peraturan BPOM itu," katanya.
Di sisi lain, Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Prof. Dedi Fardiaz menyampaikan pemaparan soal migrasi dari zat kontak pangan ke produk pangan sudah diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.
"Di sana semua jelas sekali dipaparkan," katanya.
Dia mengatakan peraturan BPOM itu menyebutkan beberapa yang wajib dilakukan label bebas dari zat kontak pangannya itu tidak hanya kemasan berbahan PC yang mengandung BPA saja, tetapi juga produk lainnya seperti melamin perlengkapan makan dan minum, kemasan pangan plastik polistirena (PS), kemasan pangan timbal (Pb), Kadmium (Cd), Kromium VI (Cr VI), merkuri (Hg), kemasan pangan Polivinil Klorida (PVC) dari senyawa Ftalat, kemasan pangan Polyethylene terephthalate (PET), juga kemasan pangan kertas dan karton dari senyawa Ftalat.
Pakar Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmad Zainal Abidin mengatakan semua unsur pembentuk bahan kemasan makanan dan minuman itu berbahaya bagi kesehatan manusia. Dia mencontohkan kemasan PET yang mengandung EG dan DEG, PC mengandung BPA, PVC mengandung PCM, bahkan kertas ada juga yang mengandung unsur berbahayanya.
"Zat-zat kimia itu semua harus sama-sama diamankan, sehingga masyarakat terbebas dari hal-hal yang berbahaya," ucapnya.
Untuk plastik misalnya, menurut Zainal, sebenarnya yang berbahaya itu bukan plastiknya melainkan bahan lain yang bukan plastik yang ada di dalam plastik itu.
"Itu kan sebenarnya bahan baku, cuma tidak 100 persen bahan bakunya terproses. Jadi ada yang tersisa. Nah, yang tersisa itu dibatasi jumlahnya supaya masih aman. Jadi, baik di plastik PET maupun PC pasti ada sisa-sisa bahan bakunya yang tidak terproses 100 persen. Karenanya, semua kemasan plastik ini harus diperlakukan sama," katanya.
Anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Hermawan Seftiono pun menilai jika BPOM tidak melakukan pengawasan yang berimbang terhadap semua kemasan plastik, hal tersebut bisa membuat polemik tidak hanya di masyarakat, tapi juga di kalangan ilmuwan dan pakar-pakar terkait.
"Ini bisa berbahaya karena dikhawatirkan, masyarakat nantinya akan menganggap kemasan yang satu lebih aman dibanding yang lain. Padahal, di semua kemasan plastik itu ada zat berbahayanya seperti asetaldehid, antimon, etilen glikol, dietilen glikol, BPA, dan lain-lain," pungkasnya.
(ega/ega)